Minggu, 08 November 2009

pengendalian hayati

JUDUL :BIOLOGI dan MUSUH ALAMI PENGGEREK BATANG Ostrinia furnacalis guene (LEPIDOPTERA: PYRALIDAE) PADA TANAMAN JAGUNG

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam akselerasi pembangunan pertanian, pengetahuan petani mempunyai arti penting, karena pengetahuan petani dapat mempertinggi kemampuannya untuk mengadopsi teknologi baru di bidang pertanian. Jika pengetahuan petani tinggi dan petani bersikap positip terhadap suatu teknologi baru di bidang pertanian, maka penerapan teknologi tersebut akan menjadi lebih sempurna, yang pada akhirnya akan memberikan hasil secara lebih memuaskan baik secara kuantitas maupun kualitas.
Demikian pula dalam kaitannya dengan konsep pengendalian hama terpadu, konsep tersebut akan diterapkan secara baik oleh petani, apabila petani memiliki pengetahuan yang baik dan petani bersikap positip terhadap konsep tersebut. Namun perlu diingat, hasil yang baik tidak akan diperoleh apabila pengetahuan petani rendah walaupun sikapnya positip, begitu juga sebaliknya jika pengetahuan petani tinggi tetapi sikapnya negatif terhadap konsep pengendalian hama terpadu.
Pengendalian hama terpadu seperti telah diuraikan di atas, yang merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian, seharusnya dipahami dan dijadikan pedoman oleh petani dalam membudidayakan tanaman pertanian, untuk mendapatkan hasil secara lebih memuaskan. Pengendalian hama terpadu adalah penggunaan metode-metode pengendalian yang ada dalam satu kesatuan rencana sedemikian rupa, sehingga populasi hama dapat ditekan dalam jumlah yang secara ekonomis tidak merugikan, tetapi kuantitas produksi dapat dipertahankan berdasarkan perhitungan ekonomis, sekaligus mempertahankan lingkungan.
Penggerek batang, Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae) banyak terdapat di Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Timur, dan Australia. Hama tersebut merupakan salah satu hama utama pada pertanaman jagung di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan, seperti di Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, antaeng, Bulukumba, Sinjai, Barru, Sidrap, Wajo, dan Luwu. Granados (2000) melaporkan bahwa O. furnacalismerupakan hama penting pada jagung di Filipina, Kamboja, Vietnam, Cina, Indonesia, hailand, Malaysia, dan Papua New Guinea. Tseng (1998) melaporkan pula bahwa O. furnacalis merupakan hama penting di beberapa negara Asia sampaike Australia, Mikronesia, Cina, Jepang, dan Korea.

Larva penggerek batang jagung dapat merusak daun, batang, serta bunga jantan dan betina (tongkol muda). Larva instar I-III merusak daun dan bunga jantan, sedangkan larva instar IV-V merusak batang dan tongkol. Serangan pada tanaman jagung umur 2 dan 4 minggu menyebabkan kerusakan pada daun, pucuk dan batang, pada tanaman umur 6 minggu menyebabkan kerusakan pada daun, batang, bunga jantan dan bunga betina (tongkol muda), sedangkan serangan pada tanaman umur 8 minggu menyebabkan kerusakan pada daun dan batang. Pada tanaman yang berumur 6 minggu, mortalitas larva lebih rendah dibanding pada tanaman yang berumur lebih muda maupun yang lebih tua. Kehilangan hasil kibat serangan O. furnacalis berkisar antara 20−80%.

Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang (1987) melaporkan bahwa kerusakan tanaman jagung oleh O. furnacalis di lapangan dapat mencapai 50%. Kehilangan hasil jagung, selain dipengaruhi oleh padat populasi larva O. furnacalis, juga ditentukan oleh umur tanaman saat terserang. Di Filipina, O. furnacalis meletakkan telur pada pertanaman jagung di lapangan 15 hari setelah tumbuh (HST) dan serangan berakhir pada 75 HST. Salah satu faktor penghambat atau pengatur populasi hama adalah musuh alami. Musuh alami berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen pengendalian hama yang aman bagi lingkungan. Namun, hingga saat ini informasi tentang komposisi musuh alami bagi hama utama pertanaman jagung masih kurang.




B. Perumusan Masalah
Bagaimana cara mengendalikan hama Ostrinia furnacalis pada tanaman jagung dengan menggunakan pengendalian hayati

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui morfologi Ostrinia furnacalis dan bagaimana cara mengendalikan hama Ostrinia furnacalis pada tanaman jagung dengan cara pengendalian hayati yaitu dengan secara parasitoid, predator dan patogen yang efektif






















BAB II
PEMBAHASAN

A. Bioekologi
a. Telur
Telur penggerek batang berukuran 0,90 mm. Telur diletakkan secara berkelompok di bagian bawah daun utamanya pada daun ke 5-9, umur telur 3-4 hari, bentuknya menyerupai sisik ikan dengan ukuran yang berbeda-beda. hampir semua telur diletakkan pada daun, terutama daun yang terkulai dan pucuk. Ngengat betina lebih menyukai meletakkan telur pada tanaman jagung yang tinggi terutama pada bagian bawah daun. Puncak peletakan telur penggerek batang terjadi pada saat terbentuknya bunga jantan dan berakhir pada saat pematangan biji.
Jumlah telur setiap kelompok berbeda-beda, yakni antara 5−90 butir, tetapi ada yang lebih dari 100 butir. Telur penggerek batang menetas 3−5 hari setelah diletakkan. Pada waktu diletakkan telur berwarna bening, kekemudian berubah menjadi putih kekuningan setelah hari kedua dan pada hari ketiga, yakni ketika akan menetas, berubah menjadi hitam. Warna hitam tersebut menandakan caput (kepala) calon larva. Jumlah telur yang diletakkan oleh seekor ngengat betina berkisar antara 80−140 butir/hari, bergantung pada umur tanaman dan bagian tanaman yang dimakan larva. Jumlah telur yang diletakkan seekor ngengat betina adalah 300−500 butir. Telur biasanya diletakkan pada malam hari hingga dini hari.

Gambar satu kelompok telur Ostrinia furnasalis yang baru diletakkan (atas) dan yang akan menetas (bawah)


b. Larva
larva yang baru menetas berwarna putih bening dengan caput bewarna hitam, makan berpindah-pindah, larva muda makan pada bagian alur bunga jantan, setelah instar lanjut menggerek batang, umur larva 17-30 hari. Lama perkembangan larva bervariasi, bergantung pada bagian tanaman jagung yang dimakan. Jagung yang berumur 6 minggu paling disenangi oleh larva O. furnacalis. Larva terdiri atas lima instar dengan ukuran yang berbeda-beda. Larva instar pertama langsung berpencar ke bagian tanaman yang disukai.
Granados (2000) melaporkan bahwa larva penggerek batang instar muda memakan daun muda dan bunga jantan yang belum mekar, sedangkan larva instar III atau yang lebih tua menggerek batang yang umumnya melalui buku batang. Keberadaan larva pada daun muda, daun yang masih menggulung, batang, serta bunga jantan dan bunga betina dapat dideteksi dengan adanya kotoran atau bekas gerekan yang tersisa pada bagian-bagian tanaman tersebut. Larva berwarna kristal keputihan, cerah dan bertanda titik hitam pada setiap segmen abdomen.


Gambar larva Ostrinia furnacalis dan bekas gerekan






c. Pupa
Umur pupa 6-9 hari, pupa terbentuk di dalam batang dengan lama stadium bervariasi 7−9 hari. Pupa yang baru terbentuk berwarna krem, kemudian berubah menjadi kuning kecokelatan dan menjelang ngengat keluar berwarna cokelat tua. Menurut Valdez dan Adalla (1983), ukuran pupa betina lebih besar dari pupa jantan. Pupa jantan dapat dibedakan dari pupa betina, yaitu pada ruas terakhir abdomen pupa betina terdapat celah yang berasal dari satu titik, sedangkan pada pupa jantan terdapat celah yang bentuknya agak bulat

Gambar pupa betina (kiri) dan Gambar pupa jantan (kanan)

d. Ngengat
Ngengat aktif malam hari, dan menghasilkan beberapa generasi pertahun, umur imago/ngengat dewasa 7-11 hari. Ngengat jantan dapat dibedakan dengan ngengat betina dari ukurannya. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan dan warna sayap jantan lebih terang daripada betina. Ruas terakhir abdomen ngengat betina juga berbeda dengan ruas terakhir abdomen ngengat jantan.

Ngengat betina (kiri) Ngengat jantan (kanan)

B. Musuh Alami
Populasi hama dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan itu adalah musuh alami yang meliputi parasitoid, predator, dan patogen. Musuh alami tersebut sudah lama dimanfaatkan dalam upaya pengendalian hama.
Upaya pengendalian hama dengan musuh alami mulai menguat setelah disadari bahwa pengendalian hama dengan insektisida menimbulkan berbagai dampak negatif yang merugikan lingkungan.
a. Parasitoid
Parasitoid merupakan unsur pengendali populasi hama dan umumnya bersifat spesifik, sehingga dapat menekan populasi inang pada tingkat yang lebih rendah.. Telur dan larva O. furnacalis dapat diparasit oleh berbagai jenis parasitoid, yaitu :
- Ordo Hymenoptera, famili Trichogrammatidae, species Trichogramma evanescens yang memarasit telur O. furnacalis
- Ordo Hymeniptora, family Ichneumonidae,
- Ordo Hymenoptera, family Braconidae,
- Ordo Diptera, family Tachinidae


Gambar imago betina Trichogamma evanescens yang sedang meletakkan telur pada telur Ostrinia furnalis

Gambar parasitoid larva ordo hymenoptera family ichneumonidae yang baru keluar dari pupa O. furnacalis

b. Predator
Jenis-jenis predator telur dan larva O. furnacalis yang ditemukan di SulawesiSelatan adalah kumbang kubah (Harmonia octomaculata, Micraspis sp., Monochilus sexmaculatus, Micraspis crocea), cecopet (Proreus sp., Euborellia sp.), laba-laba, semut, Chrysopa sp., dan Orius tristicolor. Teetes et al. (1983) melaporkan bahwa jenis-jenis predator yang banyak ditemukan pada pertanaman jagung di lapangan adalah dari ordo/famili Coleoptera/ Coccinellidae, Diptera/Syrphidae, Neuroptera/Chrysopidae, dan Heteroptera/ Anthocoridae.

Gambar lalat bibit gambar Sitophilus zeamais (Motsch)
Coleoptera,Curculionidae
c. Patogen
Patogen biasanya berasal dari golongan mikroorganisme seperti bakteri, cendawan, dan virus. Contoh patogen dari golongan bakteri adalah Bacillus thuringiensis yang menginfeksi kebanyakan larva dari ordo Lepidoptera. Contoh patogen dari golongan cendawan adalah Beauveria bassiana yang mempunyai banyak inang, sedangkan dari golongan virus adalah nuclear polyhedrosis virus (NPV) dan cytoplasmic polyhedrosis virus (CPV) yang mempunyai banyak inang terutama dari ordo Lepidoptera.

Patogen ini sudah banyak dikembangkan di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat sebagai bioinsektisida komersial. Sampai tahun 1990, di Amerika Serikat paling tidak terdapat 10 perusahaan yang memproduksi bioinsektisida.

Yasin et al. (1999; 2000) mengemukakan bahwa cendawan B. bassiana dan M. anisopliae :
Metarhizium anisopliae (Motch.)
Cendawan muscardine hijau M. anisopliae menyebar hampir sama luasnya dengan B. bassiana dengan kisaran inang yang luas pula. Yasin et al. (1999) mengemukakan, keefektifan cendawan M.anisopliae dipengaruhi oleh konsentrasi konidia dan stadium larva O. furnacalis; makin muda stadium larva, makin tinggi tingkat mortalitasnya. Cendawan M. anisopliae dengan konsentrasi 108 konidia/ml dapat mematikan larva instar II O. furnacalis hingga 72,50% pada 6 hari setelah inokulasi (HSI).

Beauveria bassiana (Bals.) Verill
Beauveria sp. memiliki konidia hialin satu-satu pada sterigmata zig zag. Sampai saat ini dikenal dua spesies Beauveria, yaitu B. bassiana dan B. brongniarti. B. bassiana memiliki sejumlah strain yang berbeda virulensi dan patogenitasnya. B. bassiana mempunyai penyebaran yang luas dengan inang yang banyakefektif menekan O. furnacalis. Sejumlah cendawan dari kelas Hyphomycetes menyebabkan penyakit muscardine pada serangga. Sebutan ini pertama kali digunakan terhadap muscardine putih ulat sutra yang disebabkan oleh Aspergillus flavus dan Paecilomyces farinocus, serta muscardine merah oleh Sorosporella uvella. terutama Lepidoptera dan Coleoptera, tetapi dapat juga yang lainnya (Diptera dan Himenoptera).
Beberapa serangga yang sensitif terhadap cendawan ini antara lain adalah O. nubilalis, Lepinotarsa decenlineata, Spodoptera exiqua, dan Darna catenata. Potensi cendawan tersebut untuk mengendalikan O. furnacalis telah diuji di Balai Penelitian Tanaman Serealia baik di laboratorium maupun di lapangan. Baco (2000) mengemukakan bahwa makin tinggi konsentrasi konidia B. bassiana, makin tinggi tingkat mortalitas larva O. furnacalis. Cendawan B. bassiana yang telah disimpan pada suhu kamar selama 2 bulan dengan penyemprotan tiga kali konsentrasi 5 x 107 masih efektif mengendalikan O. furnacalis. Menurut Soenartiningsih et al. (1999), cendawan B. bassiana yang disimpan pada suhu kamar selama 3 bulan menyebabkan penurunan virulensi akibat terjadinya penurunan daya kecambah.






















BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Penggerek batang Ostrinia furnacalis merupakan salah satu hama utama pada tanaman jagung, terutama pada jagung yang sudah dewasa, Ngengat betina lebih menyukai meletakkan telur pada tanaman jagung yang tinggi terutama pada bagian bawah daun. Puncak peletakan telur penggerek batang terjadi pada saat terbentuknya bunga jantan dan berakhir pada saat pematangan biji. Umur telur 3-4 hari, bentuknya menyerupai sisik ikan dengan ukuran yang berbeda-beda. hampir semua telur diletakkan pada daun, terutama daun yang terkulai dan pucuk. larva yang baru menetas berwarna putih bening dengan caput bewarna hitam, makan berpindah-pindah, larva muda makan pada bagian alur bunga jantan, setelah instar lanjut menggerek batang, umur larva 17-30 hari. Ngengat aktif malam hari, dan menghasilkan beberapa generasi pertahun, umur imago/ngengat dewasa 7-11 hari. Ngengat jantan dapat dibedakan dengan ngengat betina dari ukurannya. Ngengat betina lebih besar daripada ngengat jantan. Umur pupa 6-9 hari, pupa terbentuk di dalam batang dengan lama stadium bervariasi 7−9 hari. Pupa yang baru terbentuk berwarna krem, kemudian berubah menjadi kuning kecokelatan dan menjelang ngengat keluar berwarna cokelat tua.

Pengendalian hama penggerek batang Ostrinia furnacalis dengan cara pengendalian hayati yaitu dengan menggunakan musuh alami yaitu Parasitoid merupakan unsur pengendali populasi hama dan umumnya bersifat spesifik, sehingga dapat menekan populasi inang pada tingkat yang lebih rendah, contoh species parasitoid adalah Trichogramma evanescens yang memarasit telur dan larva. Predator telur dan larva O. furnacalis yang ditemukan di SulawesiSelatan adalah kumbang kubah (Harmonia octomaculata, Micraspis sp., Monochilus sexmaculatus, Micraspis crocea), cecopet (Proreus sp., Euborellia sp.), laba-laba, semut, Chrysopa sp., dan Orius tristicolor. Patogen biasanya berasal dari golongan mikroorganisme seperti bakteri, cendawan, dan virus. Contoh patogen dari golongan bakteri adalah Bacillus thuringiensis yang menginfeksi kebanyakan larva dari ordo Lepidoptera. Contoh patogen dari golongan cendawan adalah Beauveria bassiana yang mempunyai banyak inang, sedangkan dari golongan virus adalah nuclear polyhedrosis virus (NPV) dan cytoplasmic polyhedrosis virus (CPV) yang mempunyai banyak inang terutama dari ordo Lepidoptera.

DAFTAR PUSTAKA


Nonci Nurnina, 2004.” Biologi Dan Musuh Alami Penggerek Batang Ostrinia furnacalis Guenee (Lepidoptera: Pyralidae) Pada Tanaman Jagung” http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/p3231042.pdf, 23 oktober 2009
Sudarta Wayan,1989. ” Pengetahuan Dan Sikap Petani Terhadap Pengendalian Hama Tanaman Terpadu” http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/%286%29%20soca-sudarta-pks%20pht%282%29.pdf, 23 oktober 2009

Surtikanti, 2006. “Potensi Parasitoid Telur sebagai Pengendali Hama Penggerek Batang dan Penggerek Tongkol Jagung” http://www.puslittan.bogor.net/berkas_PDF/IPTEK/2006/Nomor-2/07-Surtikanti.pdf, 23 oktober 2009
…..,…..”Opt Utama Pada Tanaman Jagung” http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/leaflet/opt.pdf,
23 oktober 2009














pengendalian hama terpadu pada tanaman kubis dan kentang

RINGKASAN

PENGENDALIAN HAMA TERPADU PADA TANAMAN KUBIS (Brassica oleracca) DAN KENTANG (Solanum tuberosum)

Pengendalian hama terpadu adalah penggunaan metode-metode pengendalian yang ada dalam satu kesatuan rencana sedemikian rupa, sehingga populasi hama dapat ditekan dalam jumlah yang secara ekonomis tidak merugikan, tetapi kuantitas produksi dapat dipertahankan berdasarkan perhitungan ekonomis, sekaligus mempertahankan lingkungan (Oka dan Bahagiawati, 1987).

Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integreted Pest Management) merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan masyarakat dunia terhadap berbagai produk yang aman dikonsumsi, menjaga kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan yang memberikan manfaat antar waktu dan antar generasi. Salah satu pertimbangan dasar, Tujuan utama pengendalian hama terpadu, bukanlah pemusnahan, pembasmian atau pemberantasan hama, melainkan mengendalikan populasi hama agar tetap berada di bawah suatu tingkatan atau batas ambangyang dapat mengakibatkan kerugian ekonomik.

Dengan keluarnya Undang-Undang No.12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman yang salah satu pasalnya menyatakan supaya mengendalikan OPT dengan cara Pengedalian Hama Terpadu (PHT). PHT meliputi empat prinsip dasar, yaitu:

1. Tanaman budidaya yang sehat

Sasaran pengelolaan agro-ekosistem adalah produktivitas tanaman budidaya. Pemilihan varietas, tanaman yang memperoleh cukup pemupukan, pengairan, penyiangan gulma dan disertai pengolahan tanah yang baik sebelum masa tanam adalah dasar bagi pencapaian hasil produksi yang tinggi.

2. Melestarikan dan Mendayagunakan fungsi musuh alami

PHT secara sengaja mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh alami yang menjadi jaminan pengendalian, serta memperkecil pemakaian pestisida berarti mendatangkan keuntungan ekonomis kesehatan dan lingkungan tidak tercemar.

3. Pemantauan Lahan Secara Mingguan

PHT menganjurkan pemantauan lahan secara mingguan oleh petani sendiri untuk mengkaji masalah hama yang timbul dari keadaan ekosistem lahan yang cenderung berubah dan terus berkembang.

4. Petani Menjadi Ahli PHT di Lahannya Sendiri

Dengan keahliannya itu petani secara mandiri dan percaya diri mampu untuk melaksanakan dan menerapkan prinsip teknologi PHT di lahannya sendiri. Sebagai ahli PHT petani harus mampu menjadi pengamat, penganalisis ekosistem, pengambil keputusan pengendalian dan sebagai pelaksana teknologi pengendalian sesuai dengan prinsip-prinsip PHT.

Adapun isi tulisan ini membicarakan PHT Tanaman Kubis dan PHT tanaman kentang.

PETUNJUK PHT UNTUK TANAMAN KUBIS

1. Sebelum Tanam

- Pemilihan varietas

- Waktu Tanam

- Persiapan lahan

- Persemaian

2. Setelah Tanam

a. Awal Pertumbuhan (0 – 15 hari)

- Setelah bibit ditanam di lapang, segera disiram dan diberi naungan,

- Penyiraman dilakukan setiap sore sampai tanaman benar-benar hidup.

- Tanaman yang mati disulam.

- Pemupukan susulan dilakukan pada saat tanaman berumur 15 hari,

- Pengendalian hama secraa mekanis “pithesan”, yaitu mengambil hama yang ada kemudian dipencet dngan jari.

b. Fase Pembentukan daun (15 – 35 hari)

- Penyiangan pada saat tanaman berumur 34 hari

- Penambahan 5 g urea/tanaman saat umur 35 hari.

- Pertumbuhan tanaman pada fase ini sangat penting karena akan mempengaruhi pertumbuhan selanjutnya.

- Pengendalian hama dengan cara “pithesan”

c. Fase Pembentukan telur (35 – panen)

- Peka terhadap serangan penyakit dan ulat jantung kubis

- Pengendalian hama dengan cara “pithesan”

- Jika telur kubis sudah keras dan masif, siap untuk dipanen.

d. Pengamatan

Dilakukan sesuai dengan lembar pengamatan. Cara pengamatan petunjuk umum.

3. Hama Tanaman Kubis

a. Ulat tritip/ulat daun (Plutella xylostella)

Ulat tritip memakan bagian bawah daun sehingga tinggal epidermis bagian atas saja. Ulat ini cepat sekali kebal terhadap satu jenis insektisida. Pengendalian dapat dilakukan dengn cara “pithesan” yaitu mengambili ulat yang terdapat pada tanaman kubis, kemudian dipencet sampai mati.

b. Ulat krop/jantung kubis (Crocidoomia binotalis)

Sering menyerang titik tumbuh sehingga disebut sebagai ulat jantung kubis. Pengendalian sama dengan ulat tritip.

c. Ulat Grayak (Spodoptera Litura)

Ulat grayak juga mau menyerang kubis. Pengendaliannya sama dengan ulat tritip.

d. Ulat Tanah (Agrotis Ipsilon)

Gejala kerusakan yang ditimbulkan ialah terpotongnya tanaman kubis yang masih kecil. Pengendalian dapat dilakukan dengan membongkar tanah secara berhati-hati disekitar tanaman yang terpotong. Apabila serangan banyak, dapat digunakan karbofuran, furadan atau curater.

PETUNJUK PHT KENTANG

1. Sebelum Tanam

a. Pemilihan varietas kentang yang lebih tahan terhadap hama dan penyakit

Bisa dilaksanakan sepanjang tahun.

b. Persiapan lahan

2. Setelah Tanam

· Awal Pertumbuhan (0 – 15 hari)

Pengguludan pertama dengan cara mengambil tanah pada bedengan disebelahnya kemudian diguludkan, dilakukan penyiangan dan penyiraman.

· Fase Vegetatif (15 – 45 hari)

Pengguludan kedua, didahului dengan pemupukan ke dua, dengan pemupukan 200 kg ZA. Pertumbuhan tanam sangat penting pada saat ini karena sangat berpengaruh pada pertumbuhan berikutnya. Fase ini sangat peka terhadap serangan jamur Phytopthora infestan.

· fase pembentukan Umbi ( 45 hari – panen)

Memperbaiki saluran drainase supaya tanaman tidak tergenang. Fase ini sangat peka terhadap serangan jamur Phytophora dan bakteri Pseudomonas solonacearum.

· Panen tanaman kentang dapat dilihat dengan ciri-ciri batang sudah berwarna kuning, daun sudah mati umbi yang didalam tanah sudah tidak terkelupas kulitnya apabila di ambil dari dalam tanah.

3. Hama dan Penyakit Tanaman Kentang

Hama

a. Epilachna sp

Menyerang kentang mulai umur 3 minggu

b. Trips (Trip sp)

Vektor pembawa penyakit virus PSWV (Potato Spotted Wilt Virus) dengan ambang ekonomi; 10 ekor nimfa/daun

c. Aphis (Aphids sp)

Vektor Virus kerdil

d. Ulat Tanah (Agrotis Isiplon)

Memotong tanaman yang baru tumbuh

Penyakit Tanaman Kentang

1. Penyakit busuk Phytophora

· Menyerang daun dan umbi

· Daun berwarna kuning kemudian layu

· Batang busuk

· Umbi membusuk, jika dibelah berwarna merah basah

· Cabut dan buang tanaman yang menunjukkan gejala

2. Penyakit layu bakteri

· Tanaman layu, apabila batang dipotong mengeluarkan lendir.

· Cabut dan buang tanaman yang menunjujjan gejala

Pengamatan

- Pengamatan dilakukan sesuai dengan lembar pengamatan

- Cara pengamatan disesuaikan dengan petunjuk umum.

TUGAS PENGENDALIAN HAMA TERPADU

RINGKASAN

PENGENDALIAN HAMA TERPADU PADA TANAMAN KUBIS (Brassica oleracca) dan KENTANG (Solanum tuberosum)

O

L

E

H

UMI KALSUM

C01106060

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2009